Kamis, 05 Februari 2015

Too Late

Hari itu, pukul 09.17.
"Arina!"
Aku menghentikan langkahku sembari menoleh ke belakang. Wayan, si pemilik suara, tengah menatapku dengan senyuman termanisnya sambil melambaikan tangan. Aku balas tersenyum.
"Pulang nanti bareng gue yuk?" ajaknya. Aku mengangguk cepat. Dia tersenyum lebar lalu pamit pergi ke arah kantin. Aku kembali melangkahkan kaki ke arah gedung perpustakaan yang masih cukup jauh. Tanpa kusadari, pikiranku mengukir satu nama: Wayan.
Aku dan Wayan kuliah
di satu universitas yang sama. Kami sama-sama mengambil jurusan design. Angkatanku dan dia berbeda 2 tahun, namun karena ada beberapa kuliah yang mengulang, Wayan kini jadi sering sekelas denganku. Wayan orang Bali. Sedangkan aku, aku asli Bandung. Ya meskipun, sejujurnya aku tidak hafal jalanan di kota kembang ini. Itu semua karena aku selalu diantar jemput orangtua sejak kecil. Kini, setelah aku kuliah, aku mencoba untuk menjadi gadis yang mandiri.
Wayan sudah memiliki seorang pacar. Namanya Ambar. Ia juga tinggal di Bandung, tetapi kuliah di universitas yang berbeda denganku. Aku tahu semua tentang Ambar, Wayan selalu bercerita padaku. Namun, aku belum pernah bertemu Ambar secara langsung.
Wayan memiliki banyak kesamaan dan hobi yang sama dengan kepunyaanku. Mungkin itu yang membuat kami jadi cukup dekat. Belum lagi tingkah Wayan yang selalu mencari-cari aku di kampus. Seakan-akan dia tak bisa sehari saja tak bertatap muka denganku. Jujur saja, aku menikmati itu semua. Mungkin karena kami cocok dalam banyak hal. Kadang kala, aku mengeluhkan tugas kuliahku yang bertumpuk-tumpuk pada Wayan, dan dia pasti dengan sabarnya akan menenangkanku dan membantuku membereskan semua tugas-tugas itu.
-----
Hari yang sama, pukul 23.58.
"Gilaaa super suntuk ya Yaaan.. Capek banget gue, pegel semua ini badan," aku mengeluh. Malam itu kami sedang berjalan santai melepas lelah, menyusuri jalanan Cipaganti yang gelap, kosong, dan lengang, setelah mengerjakan tugas-tugas yang kurasa sangat tidak manusiawi hingga hampir tengah malam begini.
"Iya nih, gue juga Rin.. Itu dosen emang ribet banget ya, tugasnya gak mikirin kesejahteraan mahasiswanya gitu!"
"Yee, lebay lo. Hahaha, tapi iya juga sih, masa ki~"
Bip. Seketika omonganku teredam suara bising handphone Wayan. Ia hanya melirik sebentar, lalu menekan tombol reject.
"Loh, kok di reject? Emang itu siapa siih?" tanyaku, ingin tahu. Dengan malas, Wayan memperlihatkan layar handphone-nya.
"Oh, Ambar? Duuh kalian kenapa lagi sih, berantem lagi? Jangan berantem terus dong, masa pacaran 2 tahun isinya beranteeem melulu.."
"Lo gak tau aja Rin dia ribetnya kayak apa.. Ribet banget ngadepin cewek." sahut Wayan.
"Diiih kan gue juga cewek, berarti lo juga ngatain gue ribet doong?" sambarku agak kesal.
"Ciee ngambek.. Hahaha.."
"Tau ah! Eh, bentar deh bentar, ini kita dimana? Perasaan tadi masih di deket rumah kamu deh.. Ini kayak bukan jalanan Cipaganti," kataku, takut tersesat, karena aku tak hafal jalanan. Wayan hanya menyahut dengan santai.
"Iya, tau kok. Ini kita lagi di jalan Siliwangi.. Aduh lo tuh gimana sih, masa gak hafal jalanan kota sendiri. Kalah sama gue orang Bali. Wuuu.." ejek Wayan. Aku hanya merengut. Suasananya mendadak menjadi sunyi. Kami berjalan kaki dalam diam. Tiba-tiba Wayan bergumam pelan.
"Gini nih, kalo sama lo, keasikan ngobrol sampe gak sadar kaki udah jalan sejauh ini.. Padahal tadi niatnya cuma keliling bentar doang." Aku menatapnya. Ia menatap jauh ke depan. Aku bingung, harus menjawab apa?
"Rin, kok gue.. lebih nyaman ya kalo ngobrol sama lo? Gue.. emm.. gue pengen sama-sama lo terus.." Wayan berujar pelan. Aku gugup setengah mati. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Duuh lo ngomong apaan sih? Pasti ngelantur nih gara-gara kecapean, udah yuk ah pulang, balik arah yuk!"
-----
Esoknya, pukul 10.29.
"Akhirnya bisa tenangin diri sehari..  Untung hari ini gak ada jadwal kuliah, lega deh," aku berbicara pada diriku sendiri. Aku berjalan ke arah kursi malasku di dekat jendela, lalu menyambar satu novel yang ada di atas meja di dekatku. Kubuka lembarannya lalu kubaca perlahan. Lalu..
Bip.
Handphone-ku berdering.
~~~~~~~~~~~~~~~
Wayan is calling....
+6289655xxxxxx
~~~~~~~~~~~~~~~
Kupencet tombol hijau disana. Kuarahkan speaker-nya ke telingaku.
"Halo?" sapaku ragu. Sebab yang kudengar hanyalah bising dan ribut dua orang di ujung telepon. Seperti sedang memperebutkan sesuatu. Kurasa, Wayan tak sengaja memencet nomorku. Aku baru hendak mematikannya ketika satu suara wanita mengagetkanku.
"Halo, dengan Arina Dermawan?"
Deg. Aku sempat gugup, tapi kucoba menguasai nada suaraku agar terdengar santai.
"Iya, emm ada apa ya?"
"Gue Ambar! Lo tau kan gue siapa?" Ya ampun, nada bicara Ambar betul-betul tidak enak. Aku berusaha tetap tenang dan tidak mengeluarkan emosi yang mulai naik perlahan.
"Iya Bar, ada apa?"
"Bisa gak sih cari cowok lain aja? Gak usah deketin cowok gue, dasar kegatelan lo!" Ambar bersuara seakan petir di pagi itu. Emosiku meluap. Aku tak suka dituduh dan dihina begini.
"Eh jangan asal nuduh dong lo! Tanya cowok lo yang bener, dia tuh yang kegatelan deketin gue!"
"Lo tuh yang jangan asal nuduh cowok gue! Gue lagi sama dia sekarang, dan dia sendiri yang bilang gitu! Gak mungkin gue asal nuduh Wayan!" sambar wanita itu. Aku tak tahan. Ambar keterlaluan. Aku baru hendak menyahut lagi saat kudengar suara ribut tak jelas di telepon, lalu tak lama, sambungan itu diputus dari ujung sana. Aku hanya bisa tersenyum miris pada diriku sendiri.
"Gue kegatelan Yan? Itu yang lo bilang sama Ambar? Terserah. Thanks, Yan."
-----
2 minggu kemudian, pukul 14.47.
Aku berjalan ringan keluar dari gedung fakultas design. Sudah dua minggu aku menghindar dari Wayan. Menghilang dari hadapannya. Sejak kejadian telepon itu, aku berusaha mengambil kelas yang jadwalnya berbeda dari jadwal Wayan. Aku juga mencoba membaur di kerumunan mahasiswa dan mahasiswi lainnya agar tak tampak jelas oleh Wayan. Dan kurasa, usahaku cukup berhasil.
"Rin! Rin.. Rin tunggu dulu Rin! Arina! Gue mau ngomong sama lo!" teriak satu suara di belakangku yang terdengar cukup kewalahan. Wayan. Aku hafal benar suaranya. Aku mengumpat sendiri, lalu mempercepat langkahku. Mencoba menghindarinya. Namun tangan itu menahan lenganku. Genggamannya lembut namun mampu membuatku tak bergeming.
"Now what?" tanyaku dingin padanya. Genggamannya di lenganku sedikit mengendur.
"Udah 2 minggu gue gak bareng lo Rin.." katanya perlahan.
"Ya terus?"
"Oke kalo lo marah sama gue. Gue minta maaf," lanjutnya sembari melepas genggamannya. Setengah mati aku berusaha membuat wajahku tampak dingin di hadapannya.
"Marah? Nggak kali, biasa aja," aku menyahut sambil berjalan kembali. Tetapi langkahnya mengikuti jejakku.
"But your face show it."
"Mau lo gimana sih? Mau sampe gimana? Harusnya lo sekarang tenang, karena gak ada lagi cewek kegatelan yang ngejar-ngejar lo. Gue udah gak ganggu lo lagi." Aku berhenti dan menatap matanya dalam. Lalu semua kata-kata itu meluncur keluar dari bibirnya begitu saja.
"Engga Rin, gue.. gue.. emm itu gue gak bermaksud ngomong gitu.. itu gue panik.. oke gue ngaku salah sama lo. Gue emang pacaran lama sama Ambar, tapi selama 3 tahun itu isinya berantem semua Rin. Yang bikin kita langgeng cuma waktu dan anggapan kuno. Karena dia nganggep hubungan 3 tahun itu sayang untuk ditutup. Nyatanya gue nyaman sama lo, gue sayang sama lo.."
"Yan. Lo tau gak rasanya ditelpon pacar orang dan dibilang kalo gue ngedeketin pacarnya? Dan ternyata cowok itu sendiri yang bilang. Dan orangnya lo Yan. Lo. Jadi selama ini kita deket, lo anggep bahwa gue lah yang ngedeketin lo, gitu? Dan lo bilang ke cewek lo? Sakit jiwa, Yan. Selama ini gue dengerin semua curhatan lo. Lo tau semua masalah gue. Gue deket sama lo gak ada maksud buat ganggu hubungan lo sama Ambar. Catet Yan."
"Arina, yang pasti adalah sekarang gue ketemu lo, cuma ada dua hal. Yang pertama, gue mau mastiin perasaan gue ke lo. Yang kedua.. gue pingin mastiin, gimana perasaan lo ke gue. Perasaan lo ke gue gimana?" Mati aku. Aku gugup. Sangat gugup. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku berusaha netral.
"Biasa aja," jawabku menatap ke bawah, tak berani menatapnya.
"Bohong! Liat gue. Liat mata gue Rin.. perasaan lo sama gue gimana?"
"Biasa aja Yan," jawabku pelan sambil tetap memalingkan wajah darinya.
"Liat mata gue Rin!"
"Biasa aja Yan! Berapa kali gue bilang, biasa aja, gue gak ada perasaan apa-apa sama lo!" bentakku akhirnya. Rega diam. Sesaat tampak seperti emosinya akan meluap, tapi tak lama, dia berkata pelan.
"Oke.. iya.. gue ngerti sekarang. Makasih Rin udah bikin gue nyaman sama lo," katanya sambil berbalik arah, pergi. Aku hanya diam, menatap punggung itu, punggung orang yang kusayang. Yang kusayang lebih dari sekedar teman atau sahabat.
"Maafin gue Yan.. gue gak bisa. Gue gak bisa jujur sama lo. Gak cuma perasaan, tapi.. gue juga sayang sama lo.."
-----
2 bulan kemudian, pukul 09.04.
Hari ini ulang tahun Wayan. Aku sengaja mencari-cari dia, aku ingin memberikan kue buatanku padanya.. dan juga sebenarnya aku ingin jujur. Kali ini aku ingin berhenti membohongi hatiku sendiri yang sempat terbakar emosi di waktu yang lalu. Tapi dia tak kunjung menampakkan diri. Aku mencoba ke kantin. Ternyata dia disana. Duduk sambil menghirup espresso panas dalam gelas kertas itu. Minuman kesukaannya. Aku coba menghampirinya dengan hangat seperti saat mereka dekat dulu.
"Wayaaan happy 21! Gak kerasa yaa udah tua nih kamuu hahaha.. Eh iya nih ada kue, aku bikin sendiri loh buat kamu, kita makan bareng-bareng yuk!" Tapi yang kulihat disana hanyalah air muka yang dingin. Tatapan yang beku. Kaku.
"Makasih, gak usah Rin, tapi kue nya ambil aja buat lo. Gue gak doyan."
"Loh biasanya juga kamu sukaa.."
"Kali ini beda dari biasanya." Aku terdiam. Ya sudah, kepalang tanggung, mau ku apakan lagi. Aku memulai pembicaraan yang sebenarnya.
"Eh Yan, lo gimana sama Ambar? Denger-denger lo putus ya?" tanyaku memulai percakapan.
"Putus? Nggak kok, kata siapa? Gosip."
"Oh gitu.. Hmm.. Eh Yan udah lama ya kita gak ngobrol kayak gini, udah dua bulan loh.. Eh ada yang mau gue omongin juga nih sama lo," kataku, tetap berusaha berpikiran positif dan membuat nada suara terdengar riang.
"Nggak usahlah, udah gak usah ngomong ya.."
"Eh Yan bukannya gitu, yaudah deh temenin gue yuk? Gue mau sekalian beli barang gitu, nah kita ngobrolnya sambil jalan aja gimana?" aku masih benar-benar menyimpan harapan itu.
"Sorry Rin, gue gak bisa.Gue ada kelas."
"Yan, lo bohong kan? Kita kan jadwalnya bareng, masih lama kok, yuk temenin gue bentar aja.."
"Rin. I can't."
"Yan, lo kenapa sih? Gini Yan, gue mau bilang, sebenernya gue—"
"Udah Rin.. You're too late.. gue gak mau bikin diri dan hati gue ngarepin lo lagi. Udah dulu ya.." katanya berlalu. Aku diam dan sedetik kemudian, air mataku menetes ke atas kue untuknya yang bahkan tidak dia sentuh sedikitpun.
Di saat dia sudah pindah dari zona nyaman kami berdua.. karena ketidakjujuranku, keadaan jadi berbalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar